BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perlindungan
konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas
setiap produk barang atau jasa
yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak
tirikan oleh para produsen. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan
pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang
dianggap membahayakan kesehatan bahkan
jiwa dari para konsumen. Beberapa
contohnya adalah : Makanan
kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan
produk-produk kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi
ditumbuhi jamur dan bakteriyang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
Didalam dunia bisnis dan usaha ,Persaingan juga
harus dipandang sebagai
hal yang positif dan sangat esensial dalam dunia usaha.Dengan persaingan, para
pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus menerus memperbaiki produk dan
melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang terbaik
bagi pelanggan. Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli
produk dengan harga murah dan kualitas terbaik.
Seiring dengan berjalannya usaha para pelaku usaha mungkin lupa
bagaimana bersaing dengan sehat sehingga muncullah persaingan-persaingan yang
tidak sehat dan pada akhirnya timbul praktek monopoli.
Dengan adanya pratek monopoli pada suatu bidang tertentu, berarti
terbuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi
kepentingan kantong sendiri. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan
menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan kepada
masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan,
baik mengenai harga, mutu maupun jumlah. Kalau mau silakan dan kalau tidak mau
tidak ada pilihan lain. Itulah citra kurang baik yang ditimbulkan oleh
keserakahan pihak tertentu yang memonopoli suatu bidang.
B. Rumusan
Masalah
1.
Pengertian dan azas
perlindungan konsumen
2.
Hak dan kewajiban konsumen
dan pelaku usaha
3.
Pengertian antimonopoli dan
persaingan usaha tidak sehat
4.
Asas dan tujuan antimonopoli
dan persaingan tidak sehat
C.
Tujuan
1.
Mengetahui arti dan azas
perlindungan konsumen
2.
Mengetahui hak dan
kewajiban konsumen dan pelaku konsumen
3.
Mengetahui tentang
antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat
4.
Mengetahui azas dan tujuan
antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan azas perlindungan konsumen
Perlindungan
konsumen yaitu Perlindungan konsumen adalah jaminan
yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk barang atau jasa yang dibeli. Pada
hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan
kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia yakni Pertama, Undang-Undang Dasar
1945,sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang
demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi
barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Lahirnya
Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk
memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi
suatu barang dan jasa.Pembangunan dan perkembangan perekonomian serta
pengaruh globalisasi dan kemajuanteknologi telah membawa pengaruh kepada setiap
aspek kehidupan manusia, khususnya di bidang perindustian dan perdagangan
yang menghasilkan barang jasa dalam pemenuhankebutuhan hidup. Kondisi tersebut
membawa keuntungan bagi pelaku usaha khususnyakonsumen karena semakin terbuka
peluang untuk mendapatkan barang atau jasa dengan hargayang kompetitif. Namun
di sisi lain ternyata juga menimbulkan pengaruh negative karena mengakibatkan
kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan
konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas
bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui
kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang
merugikan konsumen.
Dengan
adanya UU Perlindungan Konsumen ini sudah cukup representatif apabila telah
dipahami oleh semua pihak, karena di dalamnya juga memuat jaminan adanya
kepastian hukum bagi konsumen, meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen, meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
Kemudian di dalam UU Perlindungan Konsumen pun, diatur tentang pelarangan bagi
pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.Semakin terbukanya
pasar sebagai akibat dari proses mekanisme pasar yang berkembang adalah hal
yang tak dapat dielakkan.
Berdasarkan
pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa azas Perlindungan Konsumen adalah:
·
Asas
Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
·
Asas
Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
·
Asas
Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelakuusaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual.
·
Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan
atas keamanan dankeselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
·
Asas
Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukum.
Faktor
utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan
haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen.Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk
menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pendidikan dan pembinaan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak
mudah mengharapkan kesadaran pelaku usahayang pada prinsip ekonomi pelaku usaha
adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal
mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
B.
Hak
dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha
Hak-hak
konsumen telah diatur secara jelas dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, Namun, memang
pada realitanya, terkadang konsumen seringkali berada pada posisi yang kurang
menguntungkan dan daya tawarnya lemah. Ini karena mereka belum memahami hak-hak
merekadan terkadang sudah menganggap itu persoalan biasa saja. Untuk itu mesti
di bangun gerakansecara massif antar elemen masyarakat yang care terhadap
advokasi kepentingan konsumen sehingga hak-hak konsumen dapat diperjuangkan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
Hak-hak Konsumen adalah :
·
Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
·
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebutsesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
·
Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
·
Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
·
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
·
Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
·
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasayang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Untuk
itu, konsumen pun perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
kepedulian,kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya.
Sosialisasi perlindungan konsumen mesti di lakukan terutama untuk strata sosial
menengah ke bawah, dengan asumsi bahwa untuk konsumen dari strata menengah
ke bawah inilah yang lebih rentan terhadap masalah-masalah yang memerlukan
perlindungan konsumen akibat ketidak pahaman mereka. Keberpihakan kepada
konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap
konsumen (wise consumerism).
Untuk
peningkatan kesadaran dan kewaspadaan konsumen, konsumen juga memiliki
kewajiban.
Kewajiban
konsumen :
·
Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,
demi keamanan dan keselamatan;
·
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa;
·
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
·
Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Piranti
hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan
usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen
dapat mendorong iklim perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
melalui penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas. Pelaksanaan
Undang-undang Perlindungan konsumen tetap memberikan perhatian khusus
kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui
upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Oleh
karena itu, dalam menjalankan usahanya pelaku usaha juga mempunyai beberapa hak
dan kewajiban seperti berikut,
Hak pelaku usaha adalah :
·
Hak untuk menerima pembayaran yang
sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dannilai tukar barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
·
Hak untuk mendapat perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
·
Hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
·
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah :
·
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya;
·
Memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
·
Memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
·
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
·
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
·
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; member kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
C. Pengertian antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat
“Antitrust”
untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah
“dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti
istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu
“kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah
“monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling
dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar
tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang
lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang
permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999
tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
D.
Azas
dan tujuan antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat
Ø
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Ø
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
1.
Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoli dan persaingan usaha
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
2.
Perjanjian yang dilarang dalam
Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
1.
Oligopoli
Adalah
keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,
sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2.
Penetapan harga
Dalam
rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :
·
Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
·
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli
yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar
oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
·
Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
·
Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian
wilayah
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku
usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan
dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi
vertikal
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian
dengan pihak luar negeri
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat
ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
3.
Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan
Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. Penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan
adanya UU Perlindungan Konsumen ini sudah cukup representatif apabila telah
dipahami oleh semua pihak, karena di dalamnya juga memuat jaminan adanya
kepastian hukum bagi konsumen, meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen, meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
Factor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen
akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen.
Persaingan
Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan
cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Undang-Undang
Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat
(1) Undang-undang
Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu
pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti
Monopoli.
Daftar
pustaka
Rohmatin,isna. 2014.Anti Monopoli Dan
Persaingan Usaha.diakses 28/05/2015 http://isnarohmatin.blogspot.com/2014/05/makalah-anti-monopoli-dan-persaingan.html
Sudaryatmo, 1999, Hukum
dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung’’http://www.scribd.com/doc/18545014/makalah-perlindungan-konsumen
http://thedreamers-informatika.blogspot.com/2013/05/makalah-persaingan-usaha-tidak-sehat.html diakses 28/05/2015
No comments:
Post a Comment